Di awal bulan kemarin, tanggal 2 Juli malam ibu saya diopname. Secara tiba-tiba dia didiagnosis menderita batu empedu. Awalnya memang dia sendiri menolak untuk dirawat, tapi ternyata dokter memutuskan untuk melakukan scanning dan penanganan lebih lanjut. Alhasil, kira-kira 2 hari setelah itu empedu ibu saya diangkat karena memang sudah meradang. Alhamdulillah, operasinya berlangsung lancar, ibu saya juga recovery dengan cukup cepat.
Kemudian tibalah hari yang ditunggu-tunggu oleh semua angkatan 2012; Jumat, 6 Juli 2012.
Sebenarnya hari pengumuman SNMPTN itu dipercepat satu hari, yang tadinya tanggal 7, menjadi tanggal 6. Memang lebih cepat lebih baik, tapi jujur, saya benar-benar tidak siap melihat hasilnya waktu itu.
Hari itu adalah hidup mati saya, hari penentu masa depan saya nantinya. Hari itu juga sepertinya Tuhan mau menguji kekebalan mental dan ketebalan urat malu saya, tamu-tamu baik itu sanak saudara maupun teman-teman ibu saya yang kian berkunjung makin malam makin membengkak jumlahnya, sementara hasil baru akan keluar jam 7 malam. Saya hanya bisa pasrah. Secercah harapan memang sudah meruak di dada saya pada hari-hari sebelumnya, karena menurut saya I've done my best and I think I did it, saya benar-benar percaya diri. Tapi ternyata, Allah berkata sebaliknya:
Di depan kurang lebih 10 orang yang berdiri di dekat saya, saya hanya bisa menahan air mata. Dalam kurun waktu sekitar 10 menit, saya menahan hasil itu kepada diri saya sendiri dan teman-teman saya, keluarga saya tidak boleh tau. Saya beralasan websitenya crash, padahal sebenarnya saya sudah tahu hasil sesungguhnya apa. Sampai akhirnya tante saya menawarkan diri untuk meminjamkan hpnya kepada saya, dan kebenaran pun terungkap. Sejenak kamar rawat inap itu menjadi hening, membuat dada saya semakin sesak dan akhirnya tidak bisa menahan lagi, saya menangis. Saya gagal. Semua orang mendadak iba dan berulang kali mengucapkan "masih ada jalan lain, jangan putus asa dulu" tapi itu semua rasanya hambar, saya hanya bisa mengangguk perlahan saja. Ditambah lagi dengan kenyataan berarti saya harus menempuh SIMAK UI pada tanggal 8, padahal persiapan saya benar-benar 0. Tapi yang benar-benar membuat saya runtuh malam itu adalah kalimat sindiran dari ayah saya, "Siap nggak kamu nanti tanggal 8? Kalo nggak ada persiapan mah sama aja bohong." Malam itu dukungan dari ayah ibu saya pun tidak ada, justru sebaliknya, mereka bilang usaha saya kurang, belajar saya juga kurang ngotot. Saya muak dengarnya.
Semangat saya benar-benar telah hilang ditelan bumi. Beban malu yang saya pikul sungguh berat, sulit sekali untuk kembali mengangkat wajah dan tersenyum tenang, tapi apa boleh buat? Nasi sudah menjadi bubur. Kegagalan bukanlah sekedar excuse agar kita bisa leyeh-leyeh meminta dunia agar menuruti dan bersimpati kepada kita. Walaupun otak saya 180 derajat mengatakan hal yang berbeda ketika itu, tapi entah kenapa, ada yang membuat hati saya tergerak untuk berjuang sedikit. Persisnya tanggal 7 malam, beberapa jam sebelum SIMAK UI dilaksanakan, saya bangkit dari posisi saya, mencoba melatih mata saya yang kian sembab dan bengkak untuk segera melihat dan menghafal sedikit buku rangkuman IPS yang saya pinjam dari Ryandika. Saya melahap pelajaran-pelajaran tersebut sekitar 2 setengah jam, kemudian saya tertidur. Perlu kalian tahu, saya tidak pernah membaca buku itu sebelumnya, saya bahkan tidak tahu menahu tentang kurva-kurva Ekonomi dan nama patahan atau tahun-tahun terjadinya berbagai kejadian lampau.. But God strengthened me. Saya seperti disentil dan diberitahu bahwa menjadi dokter gigi memang bukanlah sesuatu yang benar-benar ada di dalam hati saya, yang menjadi kemauan saya. Sehingga di ujian IPC tersebut, yang justru saya rasa bisa kerjakan adalah bagian IPSnya. But again, saya tidak mau berharap. Sungguh sakit ketika kita telah merasa bahwa kita bisa namun kenyataan mengatakan yang sebaliknya..
Semangat saya benar-benar telah hilang ditelan bumi. Beban malu yang saya pikul sungguh berat, sulit sekali untuk kembali mengangkat wajah dan tersenyum tenang, tapi apa boleh buat? Nasi sudah menjadi bubur. Kegagalan bukanlah sekedar excuse agar kita bisa leyeh-leyeh meminta dunia agar menuruti dan bersimpati kepada kita. Walaupun otak saya 180 derajat mengatakan hal yang berbeda ketika itu, tapi entah kenapa, ada yang membuat hati saya tergerak untuk berjuang sedikit. Persisnya tanggal 7 malam, beberapa jam sebelum SIMAK UI dilaksanakan, saya bangkit dari posisi saya, mencoba melatih mata saya yang kian sembab dan bengkak untuk segera melihat dan menghafal sedikit buku rangkuman IPS yang saya pinjam dari Ryandika. Saya melahap pelajaran-pelajaran tersebut sekitar 2 setengah jam, kemudian saya tertidur. Perlu kalian tahu, saya tidak pernah membaca buku itu sebelumnya, saya bahkan tidak tahu menahu tentang kurva-kurva Ekonomi dan nama patahan atau tahun-tahun terjadinya berbagai kejadian lampau.. But God strengthened me. Saya seperti disentil dan diberitahu bahwa menjadi dokter gigi memang bukanlah sesuatu yang benar-benar ada di dalam hati saya, yang menjadi kemauan saya. Sehingga di ujian IPC tersebut, yang justru saya rasa bisa kerjakan adalah bagian IPSnya. But again, saya tidak mau berharap. Sungguh sakit ketika kita telah merasa bahwa kita bisa namun kenyataan mengatakan yang sebaliknya..
Selain SIMAK, jalur mandiri lain yang saya ikuti adalah SMUP, yakni ujian mandiri dari UnPad yang memakai nilai SNMPTN kita sebagai acuan tanpa mengikuti tes kembali. Pilihan saya kembali bercabang; antara FKG dan FIKom. Walaupun saya merasa lebih optimis mengikuti jalur ini, tapi bukan berarti telah menyembuhkan trauma saya dalam perjuangan hidup dan mati ini. Jujur saja, saya kesal dan iri melihat anak-anak yang sudah mendapatkan sekolah dari jalur-jalur sebelumnya, apalagi menyadari bahwa usaha yang saya lakukan bukanlah sesuatu yang sedikit. Dengan seluruh kesabaran dan perjuangan beserta endless prayers from my beloved ones, akhirnya datanglah sebuah pengumuman:
Itu saya dapatkan ketika pengumuman SMUP kurang lebih sekitar pertengahan Juli. Bersyukur? Sangat. Karena akhirnya saya bisa mendapat satu buah kursi di salah satu PTN terbaik di Indonesia. Tapi sebenarnya, keluarga saya sudah memikirkan rencana lain; rencana memberangkatkan saya ke Belanda demi pendidikan yang jauh lebih baik. Itu adalah rencana yang benar-benar mendadak, persiapan TOEFL beserta IELTS saya pun tak ada, sehingga saya harus menunda sampai intake berikutnya; pemberangkatan baru akan dilaksanakan Februari 2013. Langkah saya dalam mewujudkan hal tersebut sudah sampai kepada tahap datang dan konsultasi kepada representative yang ada di Jakarta dan menyampaikan maksud saya. Tapi sepertinya Tuhan punya maksud lain, Dia kembali menggonta-ganti pikiran saya dengan pilihan-pilihan ini. Kedewasaan saya kembali diuji dengan semua ini, dengan pilihan-pilihan yang tersedia atas keringat dan jerih payah saya juga. Walaupun perlahan seulas senyuman telah kembali terukir di wajah saya, tapi tidak ada yang mengalahkan lompatan saya dari tempat tidur menuju pintu kamar ibu saya ketika ayah saya menyuguhkan sebuah koran ke depan saya, membangunkan saya yang sebenarnya butuh beberapa jam untuk mengobati lingkaran hitam di bawah mata saya.
2034700146. Keringat saya, teriakan saya, tangisan saya, mimpi saya.. Semuanya seperti terbayarkan. Dukungan beserta doa dari setiap orang terdekat saya didengar Tuhan, Tuhan tahu apa yang terbaik buat saya, dan inilah jalannya. Ternyata saya diterima di jurusan Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Kecewa? Tidak sama sekali. Karena apa yang saya idam-idamkan, yang hati kecil saya katakan memanglah itu.
You see, perjalanan saya bukanlah cerita singkat nan bahagia yang bisa dimiliki sebagian orang yang memang berotak Einstein. Sekalipun saya rasa nilai saya selama SMA bisa menyelamatkan saya, ternyata tidak sama sekali. Saya harus kembali membangun diri saya sendiri, berjuang mengalahkan ribuan orang yang menyerbu bangku yang sama. Inilah hidup. Hidup yang sebenarnya dimulai di sini, dimana setiap orang akan fight dengan segala apapun yang dia punya, demi masa depan yang ia mau. Ukiran hidup dan hiasan akan teras kehidupan kita kelak tentunya akan dipilih berdasarkan selera dan pengalaman kita sendiri juga, terpahat dan dipahat melalui berbagai proses dalam hidup. Keras? Teramat sangat. Hal ini juga saya peruntukkan bagi setiap orang (termasuk saya) yang sedang terus menerus berjuang demi kelanjutan hidupnya. Sekedar cerita bittersweet untuk membangkitkan semangat muda kita agar tak lekas pudar, agar tetap berpegang teguh dan terus mengayuh meskipun hidup menyuruhmu untuk berlutut dan diam tak berkutik.
So, July, you really did give me something.
Something big yet very small, something that some people won't even notice.
Something that can make people's lives slip when they live inside my shoes.
No comments:
Post a Comment