TIME RUNS FAST.

Saturday, December 24, 2011

Gonzaga (part 1)

Adakah satu tempat di dalam hidupmu yang paling berkesan untukmu? Satu tempat dimana kamu merasa kamu sangat beruntung untuk menjadi salah satu penghuninya, terlibat dalam sejumlah pertemanan dan persahabatan di dalamnya?

Bagiku, tempat itu adalah Gonzaga, sekolahku sekarang.

Kenapa? Karena aku merasa ini adalah takdir bagiku untuk dapat menginjakkan kaki dan menjadi bagian dalam sejarahnya. Butuh bantuan Tuhan menurutku agar aku dapat mengenal sekolah ini awalnya, karena memang aku baru mengetahui ada sekolah yang bernama Gonzaga beberapa hari sebelum aku menjalani tes di sana.

Pada awalnya, aku tidak bisa menyingkirkan betapa bencinya aku kepada orang tuaku yang menjerumuskan aku ke sekolah yang benar-benar asing bagiku ini. Tidak ada teman satupun untuk sekedar tertawa bersama, atau untuk berbincang masalah seputar barang-barang MOS yang wajib dibawa di hari-hari pertama. Sampai akhirnya Tuhan berbaik hati dan memberiku satu dua teman untuk bercengkrama.
Jujur, aku lebih menginginkan untuk masuk sekolah negeri pada awalnya, hanya karena hampir keseluruhan dari teman-temanku masuk sekolah negeri. I felt like someone who's stepping out from the status quo, and I didn't like it, at all.

Tahun pertama kulalui dengan seadanya. Atau dengan kata lain, benar-benar hancur. Perjuanganku untuk beradaptasi kuanggap cukup berat, dan bisa dibilang cukup berhasil untuk melihat kondisiku yang sekarang. Bergulat dengan gaya belajar di Gonzaga bukanlah sesuatu yang bisa dipandang sebelah mata. Aku, yang dulunya selalu menganggap semuanya sebelah mata, dan yakin akan keajaiban yang datang dari Tuhan meskipun aku tidak belajar, dulu merasakan akibatnya. Patut diacungi sepuluh jempol bagi anak-anak yang berhasil menempuh kelas 10 di Gonzaga bertahtakan cum laude atau suma cum laude. Karena aku sendiri merasakan bagaimana susahnya menajamkan pikiran untuk menjadi dewasa dan dapat melihat bahwa untuk mendapatkan sesuatu, kita harus berusaha, entah sekecil apapun usahamu, pasti akan membuahkan sesuatu. Kelas 10 di Gonz juga diwarnai dengan keterlibatan kita dengan dunia perorganisasian acara-acara Gonzaga. Dan lagi-lagi, kita harus bisa mengatur waktu, dan kuakui, aku gagal mengatur semuanya. Aku ingat aku harus masuk UGD karena penyakitku kambuh dan gagal tampil di acara pembukaan lomba dance waktu itu.

Dan pengalaman yang tidak akan pernah kulupakan sewaktu kelas 10 adalah Jambore XXII. Jambore yang diadakan di Waduk Jatiluhur, yang mewajibkan para pesertanya membawa tas camping yang disebut-sebut sebagai carrier yang beratnya berkilo-kilo. Hiking, rafting, tracking, solo night dan berbagai macam games yang kita laksanakan di sana merupakan anugerah sekaligus cobaan besar bagiku. Berkutat dengan alam tidaklah mudah, kita membutuhkan satu sama lain di lapangan dan kita butuh rasa kepercayaan yang tinggi bahwa teman-teman kita tidak akan mencelakai kita.

Dari tahun pertamaku di sana, aku berjuang untuk bisa naik kelas dengan nilai yang benar-benar buruk, berkutat dengan masalah yang aku alami di masa-masa labil seperti itu dibarengi dengan sekolah yang mewajibkanku untuk bersikap adaptif tidaklah mudah. Seringkali kedua orang tuaku lah yang kusalahkan atas musibah kecil yang menimpaku pada saat itu, aku sampai mengeluarkan kata-kata aku ingin pindah sekolah, atau semua berantakan karena ayah dan ibuku memaksaku masuk sekolah ini. I seriously had no idea of what kinds of things I was going to get from this school.

Seperti yang kalian tau, semua tidak akan terlihat indah pada awalnya, atau semua tidak akan terasa indah selama kita masih memilikinya, you'll see how many things Gonzaga had taught me throughout the years, I wish everyone could enter this school and enjoy a little bit of my experience, my bittersweet experience that everyone should have felt envy of.


to be continued...

No comments:

Post a Comment